Peran Jurnalisme Profetik terhadap Post-Truth

Ketika membaca dan menelaah wacana-wacana yang menggaungkan era post-truth, agaknya era tersebut tidak hanya sebagai fenomena insidental. Sebab, dengan keberadaan media sosial yang sudah tidak bisa lagi dihindarkan, post-truth sepertinya bisa dikatakan sebagai patologi sosial. Mayoritas masyarakat Indonesia, sebagaimana riset terakhir tahun 2021 dirangkum Kompas Tekno dari we are Social, intensitas dalam menggunakan media sosial menyentuh angka 8 jam 52 menit per harinya. Ini petanda post-truth sudah menjadi penyakit yang berdampingan dengan kondisi sosial.

Fakta tersebut akhirnya mau tidak mau menggugah para pemangku media massa, tidak terkecuali seorang jurnalis, yaitu bahwa eksistensi media massa haruslah mengolah informasi yang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Berbagai kalangan dari mulai pemerintah, pemangku media massa, hingga jurnalis, harus menyadari jika media massa perlu direstorasi agar sebanding ataupun melampaui media sosial. Di konteks ini, saya pikir pemahaman jurnalisme profetik bisa jadi preferensi untuk menghadapi era post-truth.

Demikian juga masyarakat. Jurnalisme profetik bukan berarti hanya untuk professional journalist saja, masyarakat pun bisa menjadi apa yang disebut citizen journalist atupun content providers. Manusia sebagai khalifah itu tindak-tanduknya tidak lepas dari interaksi dengan sesamanya. Dan di dalam sebuah interaksi, pastilah terkandung sebuah informasi. Tepat di situ jurnalisme profetik bisa diamalkan. Seperti yang dikatakan Parni Hadi dalam bukunya mengenai surat Al-Kahfi (18:56) sebagai akar dari pemikiran jurnalisme profetik, bahwa seorang jurnalis sebagai pewaris tugas para Rasul haruslah menghasilkan informasi yang mendidik, menghibur, sekaligus melakukan kontrol sosial melalui kritik sebagai peringatan.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news intimes.co.id