“Padahal, seharusnya GPK mempunyai program individual untuk anak, supaya anak ini bisa mencapai hal yang belum mampu dilakukannya dan mengoptimalkan kemampuan anak. Sebagian sekolah yang sudah ada yang memiliki GPK, ternyata mereka belum memahami tentang adanya program pendidikan individual. Jadi, selama ini beberapa sekolah yang saya perhatikan, GPK hanya mendampingi anak tanpa dia memiliki program khusus untuk anak itu,” terangnya menjelaskan.
3. Masih Banyak Penolakan Pendidikan ABK dan Stigma di Masyarakat
Masih di tempat yang sama Yenni Merdeka yang juga merupakan psikolog anak dan pendiri Sekolah Fitrah Khalilah Medan menyampaikan kebanyakan sekolah yang belum paham terkait penerapan program tersebut yang saat ini meluncurkan pendidikan inklusif, baik sekolah pemerintah maupun swasta, hingga para GPK.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Banyak guru yang bekerja sebagai GPK, tapi mungkin saja belum paham tekniknya, bagaimana cara merancang program pembelajarannya. Karena ternyata banyak sekolah yang menerapkan pendidikan inklusif, tapi belum paham tata caranya,” bebernya.
Bukan hanya itu, penerimaan dari lingkungan sekitar juga sangat penting dalam keberhasilan pendidikan inklusif. Tapi, pada kenyataannya masih banyak penolakan terhadap ABK, karena stigma negatif yang selama ini tumbuh di tengah-tengah masyarakat.
“Contohnya seperti orang tua mendaftarkan anaknya ke kami, dan dia mengetahui bahwa ada anak lain yang mempunyai kebutuhan khusus, dia takut kekhususan ini akan menular ke anaknya yang normal,” ungkap Yenni mencontohkan yang terjadi di sekolah miliknya, saat menerima peserta didik ABK.
4. Perlunya Sosialisasi Pendidikan Inklusif di Masyarakat
Maka dari itu Yenni menilai bahwa pada pelaksanaan pendidikan inklusif dengan menyertakan peserta didik ABK ini harus disosialisasikan lebih deras lagi di masyarakat.
“Hal-hal semacam ini juga penting diedukasi ke masyarakat bahwa sebenarnya kita bisa saling membantu jika berdampingan hidup. Padahal kehadiran ABK di sekolah juga bisa membantu anak-anak reguler agar belajar yang namanya empati dengan praktek langsung, gimana sih cara mereka berinteraksi dengan teman-temannya yang berkebutuhan khusus,” paparnya.
Menyambung hal itu, Kiki kemudian menegaskan kembali bahwa hal ini sesuai amanat undang-undang, semua anak berhak mendapatkan layanan pendidikan yang sama.
“Sebagian masyarakat juga berpikir, bahwa mereka sekolah di SLB (sekolah luar biasa). Padahal, secara alternatif juga bisa di sekolah inklusi, terutama untuk anak yang tidak mempunyai masalah intelektual yang berat. Dan bagi anak yang mempunyai special needs, anak yang disabilitas, atau ABK, padahal mereka juga berhak untuk sekolah di sekolah mana saja,”pungkas Kiki mengakhiri. (dinda/hm17)