INTIMES.co.id | BANGKA BELITUNG – Gempa adalah gejala alam yang tidak dapat diprediksi, baik dari segi waktu maupun kekuatannya. Biasanya, gempa terjadi pada pertemuan dua lempeng tektonik, namun lokasinya sulit dipastikan. Meskipun gempa tidak dapat dicegah, dampaknya, seperti korban jiwa, kerusakan bangunan, dan fasilitas umum lainnya, dapat diminimalisir.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk merancang bangunan yang tahan gempa guna mengurangi potensi kerusakan.
Salah satu prinsip dasar dalam desain bangunan tahan gempa adalah memastikan bahwa struktur bangunan, baik secara horizontal maupun vertikal, simetris. Selain itu, elemen struktur utama seperti kolom harus dirancang lebih kuat dibandingkan dengan balok. Hal ini bertujuan agar keruntuhan balok dan plat lantai dapat diantisipasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jika kolom hancur terlebih dahulu sebelum balok, bangunan dapat runtuh dengan cepat, seperti yang terjadi di Bangkok.
Pada 28 Maret 2025, gempa berkekuatan 7,7 SR yang berpusat di Sagaing, dekat kota Mandalay, Myanmar, mengakibatkan runtuhnya sebuah bangunan 30 lantai yang masih dalam tahap konstruksi di Bangkok.
Meskipun gempa tersebut berjarak ratusan kilometer dari Bangkok, dampak yang ditimbulkan sangat parah. Video dan foto yang beredar menunjukkan kehancuran struktural bangunan. Analisis sementara menunjukkan bahwa bangunan tersebut menggunakan sistem struktur flat slab, yang kurang cocok untuk mengatasi gempa besar.
Desain modern dengan sistem flat slab menawarkan keuntungan dalam hal estetika dan efisiensi ruang. Namun, sistem ini memiliki kelemahan dalam menghadapi gempa, terutama jika tidak didukung oleh elemen struktural yang memadai. Flat slab tidak menggunakan balok sebagai elemen penghubung, sehingga transfer beban lateral sepenuhnya bergantung pada sambungan pelat-kolom. Saat terjadi gempa, sambungan ini mengalami tekanan berlebihan yang dapat menyebabkan kegagalan geser (punching shear failure), yang akhirnya berujung pada keruntuhan bangunan.
Halaman : 1 2 Selanjutnya