Karakter seseorang dapat menandakan jiwa zamannya, tetapi terkadang pemikiran seseorang melampaui zamannya. Badan boleh binasa, tetapi pemikiran seseorang tetap mengabdi sepanjang hayat. Salah satu golongan yang memilki peran vital dalam masyarakat adalah mahasiswa. Golongan kelas menengah ini dituntut untuk selalu melahirkan pemikiran yang baru dan segar. Selain itu mahasiswa juga dituntut untuk menjadi aktor perubahan baik evolusioner maupun revolusioner.

Periode tahun 1960-an, gerakan mahasiswa Indonesia terpolarisasi oleh berbagai kepentingan pribadi, kelompok, golongan, agama, bahkan kepentingan politik; politik aliran, politik sekelompok atau golongan, dan partai politik. Situasi pada saat itu tidak jauh berbeda dengan kondisi saat ini. Hal tersebut membuat saya teringat pada satu sosok yang turut ambil andil dalam gerakan perubahan pada periode akhir orde lama tersebut. Sosok tersebut yang saya ketahui dari berbagai literatur dengan nama Soe Hok Gie.

Soe Hok Gie lahir pada tanggal 17 Desember 1942. Ia lahir ketika perang tengah berkecamuk di Pasifik. Perjalanan hidupnya sangat singkat. Ia meninggal pada 16 Desember 1969, sehari sebelum usianya genap 27 tahun. Kematiannya yang mengejutkan membuat banyak orang menangis dan meratap dengan perasaan tak menentu. Semasa hidupnya, banyak orang yang tidak dapat tidur nyenyak karena komentar pedasnya. Keberanian yang luar biasa dari seorang intelek yang independen dan idealis. Pemikirannya kritis, rasional dan terkadang melampaui zamannya.

Pada tahun 1961, Gie menuntut ilmu di Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Inilah awal dari kehidupan baru yang kemudian menghantarkan namanya melambung tinggi melampaui ketinggian Semeru, gunung tempatnya menghembuskan nafas terakhir bahkan melebihi tinggi pesawat Hercules yang mengudara menghantarkan jenasahnya kembali ke Jakarta. Ketajaman penanya mengisyaratkan bahwa ia seorang sejarahwan yang menulis apa adanya bukan ada apanya.

Sikap idealis yang dipertahankannya membuatnya berseberangan dan kemudian dikucikkan okeh teman-temannya. Tetapi hal tersebut bukanlah persoalan yang berarti untuknya. Baginya, ketika kita mempertahankan kebenaran, artinya kita telah siap kesepian. Idealis sejati hanya berkata, berbuat, dan bertindak atas nama kebenaran. Itulah Soe Hok Gie, intelektual yang selalu menjadi inspirasi mahasiswa Indonesia di segala zaman. Ketika kawan-kawan seperjuangannya telah duduk menjadi birokrat dan perlahan-lahan mulai kehilangan idealismenya, Gie tetap saja pada pendiriannya. Baginya, politik adalah lumpur yang kotor. Namun ketika kita tidak menghindar, maka terjunlah ke dalamnya.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news intimes.co.id
Lalik Kongkar
Reporter