INTIMES.co.id | BANDA ACEH – Ketua Komisi V DPRA M Rizal Falevi Kirani, berharap Penjabat (Pj) Gubernur Aceh Bustami Hamzah, harus gerak cepat untuk membereskan seluruh persoalan yang ada di Aceh.

Hal ini disampaikan Falevi Kirani dalam diskusi Aceh Resource & Development (ARD) bertajuk “Pj Gubernur Aceh Berganti, Ditunggu Gerak Cepatnya” yang berlangsung di Moorden Kafe, Pango, Banda Aceh, Senin (1/4).

Dalam kesempatan itu, Falevi menyebut ada banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan oleh Pj Gubernur, sesuai instruksi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) usai melantik Bustami beberapa waktu lalu.

“Hal yang paling penting adalah bagaimana Pj Bustami keluar dari comfort zone (zona nyaman). Sejauh mana kemampuannya dalam mengambil kebijakan, termasuk kebijakan strategis. Sehingga dapat melahirkan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh,” kata Falevi.

Ia menjelaskan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) 2024 sudah disahkan pada Desember 2023, kemudian hasil rekomendasi Kemendagri keluar pada Januari 2024. Dimana hasil itu tidak ada kesepakatan bersama antara eksekutif dan legislatif Aceh.

“Setelah adanya pergantian Pj Gubernur yang baru, masalah ini selesai. Akan tetapi saat ini APBA sudah tiga bulan molor, lalu bagaimana mengejar realisasi APBA,” jelasnya.

Ia berharap, komunikasi antara eksekutif dan legislatif Aceh berjalan dengan baik. Bukan hanya masalah bagi-bagi kue kekuasaan tapi juga bagaimana masyarakat dapat menerima hasil pembangunan.

“Formulasi ini harus diatur sebaik mungkin. Sehingga harus dicari formulasi yang lebih baru dan lebih aman yang akan menguntungkan masyarakat, bukan segelintir pihak,” ucapnya.

Disisi lain, Pengamat Kebijakan Publik Aceh Nasrul Zaman, menyampaikan bahwa keberadaan Pj Gubernur telah membuat stagnan pembangunan di Indonesia secara umum.

Menurut Nasrul Zaman, jika pimpinan SKPA professional maka tidak perlu adanya konflik. Sebab semuanya telah diatur.

“Masalahnya terjadi Ketika Pj cawe-cawe dan kedua lembaga yang sudah ada, baik eksekutif dan legislatif juga ikut cawe-cawe,” terangnya.

Kesemrautan ini seakan-akan dibangun oleh skema Jakarta. Dimana Aceh walaupun populasinya kecil, tapi jadi perhatian dunia internasional di Jakarta.

“Dalam hal kesehatan, peringkat stunting Aceh dalam 5 tahun terakhir berkurang dari peringkat 33 menjadi 30. Sangat disayangkan di Pemerintah Aceh saat ini tidak ada anggaran untuk stunting,” ungkapnya.

Ia menyebut, stunting ini berbahaya ketika Aceh menghadapi bonus demografi 20 tahun ke depan. Dimana generasi mudanya tidak lagi memiliki kecakapan intelegensi yang memadai.

“Dalam hal kesehatan kita benar-benar terabaikan, sebab kita memilih orang yang tidak paham kesehatan dalam memimpin,” tuturnya.

Nasrul mengatakan, pada 1990-an ekonomi Aceh berada di peringkat 5 nasional. Sehingga banyak anak muda Aceh direkrut ke pusat dan kini menjadi petinggi Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

“Tapi saat ini hal itu tidak terjadi lagi. Saat ini kita nomor 8 Sumatera dari 8 provinsi dalam hal ekonomi,” katanya.

Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian, menyebut bahwa ketika Bustami Hamzah dilantik sebagai Pj Gubernur Aceh, Mendagri Tito Karnavian mewanti-wanti soal PON XXI dan Pilkada 2024.

Ihwal PON, kata Alfian, terjadi dinamika di salah satu venue di Kabupaten Aceh Besar. Dimana pihak panitia PON menyurati Pj Bupati Aceh Besar meminta petani menggeser masa tanam dari April hingga Agustus.

“Karena untuk mengendalikan debit air Waduk Keliling yang akan digunakan untuk PON. Hal ini akan menjadi potensi gejolak sosial di masyarakat,” ungkap Alfian.

Ia mendesak Bustami mengambil kebijakan yang substansial terkait instruksi ini. Sebab banyak pihak tidak sepakat dengan kebijakan tersebut.

“Apalagi petani di tiga kecamatan pastinya akan melakukan mobilisasi untuk menyuarakan penolakan,” kata Alfian.

Alfian menjelaskan, bahwa dalam dokumen evaluasi Mendnagri ada Rp550 miliar dari APBA untuk penyelenggaraan PON di Aceh.

“Ini jumlahnya sangat besar. Apalagi Aceh secara fiskal tidak sehat, inflasi dan segala macam. Harusnya ini sebagai event nasional, kontribusi APBN lebih besar,” paparnya.

Ia mengatakan, PON jangan hanya dilihat dari sisi pengembangan ekonomi Aceh tapi juga mudharatnya dalam jangka panjang juga harus dipikirkan.

Selain PON, juga ada Pilkada kedepan. Dalam PIlkada, perihal potensi penggunaan anggaran untuk bantuan sosial (Bansos) dan lainya dari APBA juga akan besar.

“Silpa 2023 ada Rp800 miliar dan rakyat Aceh berhak untuk mengetahui hal ini,” jelas Alfian.

Sementara itu, akademisi Universitas Abulyatama (UNAYA) Usman Lamreung, menuturkan ketika terjadi kisruh antara Pj Gubernur Achmad Marzuki dengan DPRA, menyebabkan terhambatnya program pembangunan serta tersendatnya program ekonomi masyarakat.

Ketika terjadinya macet angaran selama tiga bulan, berdampak besar bagi birokrasi dan masyarakat Aceh. Saat honor tidak bisa direalisasikan, persoalan tata Kelola birokrasi hingga lemahnya implementasi kebijakan dan program pemerintah.

“Birokrasi di pemerintahan juga ada kekosongan pejabat, baik di tingkat dinas, eselon dua dan tiga, itu juga persoalan, ditambah lagi kisruh antara sekda dan gubernur sebelum bergantinya pj gubernur,” ucap Usman.

Usman melihat, kisruh ini membuat program kebijakan dan pembangunan tidak berjalan, sehingga masyarakat Aceh terlupakan oleh dua lembaga yang diberikan amanah oleh rakyat ini.

Menurutnya, Pj Gubernur punya batasan, berbeda dengan definitif yang dipilih langsung oleh masyarakat. Ada pesan-pesan yang harus dijalankan dan diarahkan oleh pemerintah pusat, terutama soal PON dan Pilkada 2024.

Ia menyampaikan, adanya pergeseran anggaran dinas terkait untuk mengakomodasi PON. Dimana da dinas yang melaksanakan kegiatan regular tapi tidak ada program, karena anggaran dialihkan untuk PON.

“Walaupun eksekutif dan legislatif sudah damai, tapi hingga kini pihak DPRA belum mengetahui penggunaan dana PON dari mana saja,” ungkapnya.

Ia menuturkan, jika pengunaan dan pergeseran anggaran ini tidak jelas, maka akan terjadi seperti di Papua. Dimana paska PON, timbul masalah hukum dan hal itu bisa terjadi di Provinsi Aceh.

“Kerjasama lintas sektor harus dipersiapkan. Misalnya, dalam hal infrastruktur dasar seperti infrastruktur dasar pariwisata. Selain itu kerjasama antar Pemerintah Aceh dengan kabupaten/kota juga perlu dibangun,” pungkasnya.[]

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news intimes.co.id
Redaksi
Editor