1. Terbatasnya GPK Pada Pendidikan ABK Jadi Masalah Utama
Dalam hal ini Kiki menilai salah satu permasalahan yang dihadapi adalah karena terbatasnya guru pembimbing khusus (GPK). Seharusnya ABK didampingi oleh guru pendamping khusus. GPK ini yang akan membantu anak-anak untuk menjalankan sistem pendidikan di sekolah.
“Ini bertujuan untuk anak-anak dengan kelainan baik fisik, emosional, mental, intelektual, maupun sosial. Namun, untuk saat ini keberadaan GPK itu sangat terbatas dalam pendidikan inklusif, peserta didik ABK digabung dengan anak-anak lainnya di sekolah reguler,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dikatakannya, anak-anak dengan potensi kecerdasan dan bakat istimewa itu bisa mendapatkan pendidikan yang sama seperti anak-anak pada umumnya, dan dalam menjalani pendidikan di sekolah reguler tersebut, peserta didik ABK ini harus didampingi oleh GPK yang memang ditugaskan secara khusus untuk mendampingi mereka.
“GPK itu tugasnya memberikan membimbing ABK sesuai dengan program. ABK ini kan memiliki karakteristik sendiri, seperti kelebihan dan kekurangannya tersendiri. Tapi, pada kenyataannya tidak semua peserta didik ABK di sekolah inklusi memiliki GPK. Sehingga mereka hanya mengikuti aktivitas yang sama seperti anak reguler, tanpa mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki berdasarkan karakteristik kekhususannya,” lanjut wanita yang juga menjabat sebagai Koordinator Program Inklusi di Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah (YPSA) Medan itu.
2. Perlunya Kesiapan GPK dan Dukungan Masyarakat
Berdasarkan data Kemendikbudristek pada Desember 2023, dari sebanyak 40.164 satuan pendidikan di Indonesia yang memiliki peserta didik ABK, hanya 5.956 sekolah, atau sekitar 14,83 persen saja yang memiliki GPK.
Kiki kemudian menambahkan bahwa di Sumatera Utara saat ini sudah ada 1.767 sekolah SPPPI dengan peserta didik ABK, di mana sebanyak 237 sekolah di antaranya mulai dari jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD), hingga sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah atas (SMA) yang ada di Medan.
“Selain itu, kurikulum juga perlu dipahami oleh GPK. karena perlu dilakukan penyesuaian pada kurikulum dalam melaksanakan pendidikan inklusif. Bukan hanya kuantitas, peningkatan kualitas GPK juga menjadi permasalahan lain yang perlu mendapatkan perhatian,” tukasnya.
Sementara itu Kiki yang juga merupakan alumni Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara itu menyebut, ini dilakukan karena sebagian besar peserta didik ABK tidak akan bisa mengikuti kurikulum reguler dan menjadi keterbatasan. Sehingga dalam merancang program pembelajaran khusus yang disebut dengan Individualized Education Program (IEP) atau Program Pendidikan Individual (PPI) GPK harus mampu.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya