“Justru seharusnya kasus ini dihentikan penyidikannya dengan mengeluarkan SP3. Namun nyatanya KPK tidak melakukan hal itu dan justru dipaksakan. Kalau yang baner begitu lihat memang susah, hentikan, SP3, ini kan enggak, karena KPK alasannya enggak boleh SP3, ya harusnya dilimpahkan ke Kejaksaan kalau mau seperti itu, kan tidak dilakukan. Lanjut aja dipaksakan,” terang Romli.

Menurut Romli, baik polisi, jaksa maupun hakim sama-sama keliru dalam menangani perkara  Mardani H Maming ini.

“Kalau saya berpikir ya mau jaksanya nggak bener, polisi nggak bener, kalau hakimnya tegak lurus ke atas nggak ada masalah tapi ini jaksanya sudah enggak betul secara hukum, hakimnya juga enggak mau tegak lurus,” ujarnya.

Romli menegaskan bukan tidak mungkin kasus ini kental dengan nuansa politik, sehingga memang seolah-olah dibuat hukum itu memang berlaku dan ada.

Hal serupa disampaikan  Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Topo Santoso, bahwa eksaminasi yang dilakukan para ahli hukum itu sesuatu yang penting untuk dilakukan. Apalagi putusan hakim tidak terlepas dari kemungkinan kekeliruan.

Menurutnya, eksaminasi yang dilakukan para ahli hukum ini merupakan suatu usaha yang sangat penting. Dia mengungkapkan kritisi yang disampaikan kalangan akademis penting, karena selalu ada kemungkinan namanya kekhilafan atau kekeliruan hakim.

Kekritisan yang sampaikan itu hendaknya kemudian menjadi perhatian bagi para penegak hukum. Tidak terkecuali para hakim di dalam peradilan.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news intimes.co.id