Miskin Sejak Dalam Pikiran

- Reporter

Kamis, 18 Mei 2023 - 15:28 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Akhirnya, semenjak kecil seseorang yang terlahir miskin harus membanting tulang demi memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Bekerja fisik sebelum usia matang hingga tidak terjaganya asupan makanan yang sehat, serta bertempat tinggal di lingkungan yang kumuh membuat masa pertumbuhan menjadi tidak optimal. Kemampuan fisik yang lemah akan menurunkan produktivitas kerja, sehingga membuat kesempatan kerja kian tertutup.

Sementara kehilangan masa kanak-kanak serta akses pendidikan juga memiliki implikasi yang kurang lebih sama. Pola ini bisa saja dimulai dari titik awal yang berbeda. Yang jelas pola ini akan terus berputar-putar di tempat, menunggu ada yang menekan tombol berhenti.

Bagaimana bisa tercipta suatu masyarakat miskin yang kemudian terus-terusan hidup miskin tanpa ada yang menghentikan? Apa yang salah dengan mereka sehingga mereka mau tak mau terjebak dalam posisi yang begitu rumit?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Bertumpu pada pola pikir yang menginginkan segala sesuatu dengan serba instan tadi menjadikan mereka memilih untuk merebahkan segala beban yang mereka miliki kepada sesuatu (sikap ketergantungan dan mental meminta-minta).

Masyarakat pinggiran kota sendiri memang secara literal ‘terpinggirkan’. Sentralisasi ekonomi dalam berbagai pembangunan kota pada negara-negara berkembang menciptakan suatu gelombang urbanisasi yang masif. Sementara kesempatan kerja terbatas, mereka-mereka yang sudah terlanjur terjebak di dalam lautan metropolitan terpaksa menjalani hidupnya dalam kota dengan segala keterbatasan. Mereka-mereka yang tak mampu mengambil posisi dalam konstelasi perekonomian kota pada akhirnya harus meminggirkan diri dari hingar-bingar perkotaan.

Slum dan Ketidakmampuan Berpikir Jangka Panjang

Kawasan slum merupakan masyarakat perkotaan semu, dimana mereka mengakui bahwa nilai-nilai masyarakat perkotaan melekat pada dirinya, sementara mereka tidak sadar akan posisinya dalam struktur masyarakat kelas. Mereka menginginkan keadilan namun mereka buta hukum. Mereka ingin didengar namun mereka tak mengerti konsep demokrasi.

Secara empiris mereka melihat sendiri mobil-mobil berlalu-lalang dalam jalanan protokol, orang-orang berpakaian rapih keluar masuk gedung-gedung tinggi, hingga berbagai tayangan dalam televisi yang jelas-jelas sangat menggambarkan kehidupan yang glamor dan serba berlebih. Namun, secara rasional mereka tidak mampu memahami apa yang sebenarnya terjadi.

Follow WhatsApp Channel intimes.co.id untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Gempa Myanmar dan Runtuhnya Bangunan di Bangkok: Ketika Desain Modern Bertemu dengan Risiko Gempa
Deep Learning, Inovasi Teknologi dan Masa Depan Pendidikan
Opini : Perdagangan Manusia: Kejahatan Kemanusiaan yang Terabaikan
Opini: Menghapus Stereotip, Menghargai Pendidikan Perempuan
Opini: Menangani Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi dengan Serius
Opini: Memutus Mata Rantai Pelecehan Seksual di Lingkungan Kerja
Pendidikan Inklusif di Indonesia, Psikolog: Masih Banyak Sekolah Belum Siap
Dinasti Merusak Tatanan Perpolitikan dan Demokrasi di Abdya
Tag :

Berita Terkait

Minggu, 30 Maret 2025 - 18:55 WIB

Gempa Myanmar dan Runtuhnya Bangunan di Bangkok: Ketika Desain Modern Bertemu dengan Risiko Gempa

Minggu, 23 Maret 2025 - 23:23 WIB

Deep Learning, Inovasi Teknologi dan Masa Depan Pendidikan

Sabtu, 14 Desember 2024 - 03:27 WIB

Opini : Perdagangan Manusia: Kejahatan Kemanusiaan yang Terabaikan

Sabtu, 14 Desember 2024 - 03:20 WIB

Opini: Menghapus Stereotip, Menghargai Pendidikan Perempuan

Sabtu, 14 Desember 2024 - 03:11 WIB

Opini: Menangani Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi dengan Serius

Berita Terbaru

Daerah

FOZ Sumut Bahas Sinergi Layanan Ambulance dengan Dinkes

Selasa, 6 Mei 2025 - 22:22 WIB

Exit mobile version