Belum lagi, lanjutnya jika CSR atau anggaran tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan BUMN tersebut digunakan untuk membiayai bisnis pihak tertentu dengan kedok menggunakan kelompok masyarakat, padahal kelompok penerima hanya memasang namanya saja namun tak menjadi pemilik usahanya.
“Jika hal itu terjadi bukankan sudah termasuk dalam pelanggan yang dijelaskan dalam Pasal 3 UU Tipikor menyebutkan setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan. Lagi-lagi kita berharap alokasi dana CSR BUMN di Aceh benar-benar dipantau oleh lembaga penegak hukum termasuk KPK karena sangat rawan disalahgunakan,”sebutnya.
Pihaknya meminta KPK dan juga penegak hukum lainnya untuk mengawasi dan menelusuri penggunaan CSR BUMN yang ada di Aceh selama 2-3 tahun terakhir, kemana saja digunakan selama ini, karena mengingat besaran alokasinya tak seimbang dengan dampaknya, atau jangan-jangan praktek monopoli CSR BUMN di Aceh benar adanya karena kurangnya perhatian aparat penegak hukum hingga lembaga audit terkait anggaran tersebut.
“Jangan sampai anggaran tanggung jawab sosial perusahaan milik negara yang ada di Aceh itu diselewengkan penggunaannya dan jangan pula ada istilah hak calo CSR. Kami dukung KPK dan para penegak hukum untuk serius tangani persoalan ini,” tegasnya.
Tinggalkan Balasan