BANDA ACEH – Masalah kemiskinan dinilai menjadi salah satu faktor penyebab ujaran kebencian dan polarisasi tinggi di Aceh. Hal ini mengemuka dalam diskusi bertema “Ujaran Kebencian dan Polarisasi di Balik Pilkada Aceh 2024″ yang digelar di Sirnagalih Coffee Shop, depan Sekretariat AJI Banda Aceh, Kamis (19/12/2024).
Diskusi yang diinisiasi Koalisi Kawai Haba Demokrasi Aceh ini menghadirkan sejumlah pembicara, yaitu Teungku Faisal Ali (Ketua PWNU Aceh), Ahmad Mirza Safwandy (Ketua Divisi Hukum dan Pengawasan KIP Aceh), serta Ika Idris (Co-Director Monash Data & Democracy Research Hub Monash University Indonesia). Diskusi dipandu Zuhri Noviandi, Sekretaris AJI Banda Aceh.
Teungku Faisal Ali menilai ada korelasi antara tingkat kemiskinan dengan meningkatnya ujaran kebencian di Aceh. Menurutnya, kondisi ekonomi masyarakat yang sulit mendorong tindakan-tindakan negatif, termasuk penyebaran fitnah dan hoaks.
“Masyarakat kita bukan tidak paham masalah agama, tentang regulasi yang melarang ujaran kebencian, tapi karena tuntutan kemiskinan yang membuat mereka melakukan tindakan-tindakan yang tidak lagi memikirkan bahwa itu fitnah, itu gibah, dan sebagainya,” ujar Teungku Faisal.
“Makanya sangat punya korelasi antara kemiskinan dan meningkatnya ujaran kebencian di Aceh,” lanjutnya.
Ia menawarkan solusi bahwa menghilangkan ujaran kebencian, kemiskinan harus diberantas. Selain itu, terkait isu agama yang dipakai dalam ujaran kebencian dan polarisasi, Teungku Faisal Ali menyebut keawaman dan keterbatasan literasi masyarakat termasuk di antara penyebabnya.
“Isu agama ini sesuatu yang setiap saat terus berkembang, disebarkan, karena salah satu yang membuat itukan karena keawaman dan keterbatasan literasi masyarakat kita untuk melihat sesuatu yang diciptakan oleh orang ahli, sehingga mereka tidak mampu membedakan bahwa ini hoaks ataupun tidak,” kata Teungku Faisal.
Sementara itu, Ika Idris memaparkan hasil pemantauan Monash University dan AJI yang menunjukkan bahwa Aceh merupakan provinsi dengan tingkat polarisasi tertinggi dari lima provinsi yang dipantau dalam rentang Agustus-November 2024 atau menjelang Pilkada 2024. Dari 180 ribu percakapan yang dikumpulkan di media sosial, 63,8 persen di antaranya berasal dari Aceh.
“Yang paling tinggi memang adalah polarisasi politik, namun juga masih ada isu-isu agama dan perempuan,” kata Ika Idris.
“Isu agama, secara general, baik antara kandidat muslim dan nonmuslim, tapi memang juga kandidat muslim ini ada narasi berlomba-lomba yang paling saleh. Juga narasi kepada kandidat perempuan dan melawan kotak kosong,” lanjutnya.
Terkait kemiskinan yang dinilai menjadi salah satu pemantik polarisasi di Aceh, Ika menyebutkan berdasarkan sejumlah hasil riset bahwa yang menjadi salah satu faktor polarisasi adalah gap pendapatan atau income in equality.
“Hasil riset beberapa jurnal itu menyebutkan bahwa yang berkorelasi positif terhadap polarisasi itu adalah gap pendapatan atau income in equality. Kalau itu terlalu besar antara si kaya dan si miskin itu akan berkorelasi positif sebenarnya dengan polarisasi,” kata Ika.
“PR kepala daerah yang akan dilantik ini adalah memperkecil gap pendapatan itu,” tegas Ika.
Di sisi lain, Ahmad Mirza Safwandy menilai sangat penting untuk merefleksikan kembali dan mengevaluasi sesuatu yang menjadi fenomena sosial pasca-pelaksanaan Pilkada. KIP Aceh mencatat, secara yuridis, fenomena itu terkait dengan sengketa hasil Pilkada. Di sisi lain, secara nonyuridis adalah keterbelahan masyarakat dampak dari ujaran kebencian.
“Yang bersifat nonyuridis terkait dengan fenomena sosial polarisasi yang terjadi di tengah masyarakat, keterbelahan, faktor-faktor yang merupakan efek daripada ujaran kebencian,” kata Ahmad Mirza Safwandy.
Menurutnya, hal tersebut menjadi refleksi dan evaluasi penting untuk meningkatkan pendidikan politik. “Ini bukan hanya tanggung jawab penyelenggara, KIP, tapi tanggung jawab kita semua, pasangan calon, partai politik, pers, dan kita semuanya,” katanya.
Diskusi ini kegiatan lanjutan dari Koalisi Kawai Haba Demokrasi Aceh yang dibentuk pada 3 Agustus 2024. Koalisi melibatkan penyelenggara Pilkada, organisasi masyarakat sipil, pekerja dan pemilik media, organisasi keagamaan hingga pemuda untuk melawan gangguan informasi Pilkada di Aceh.[]